Makalah Analisis Cerpen
Makalah
Analisis Cerpen Guru Karya Putu Wijaya dengan
Pendekatan Objektif
Disusun Oleh:
Nurrohmah Hidayatun
NIM 22201241005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Sastra
merupakan salah satu kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Kata“Sastra” berasal dari kata “Shastra” yang memiliki arti pedoman
(shas) dan sarana (tra). Secara umum, pengertian sastra merupakan suatu karya
yang berbentuk tulisan dengan makna mendalam serta mengandung estetika. Sastra
juga dapat dipahami dan memiliki arti yaitu mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk atau instruksi, serta sebagai alat atau sarana untuk memberi petunjuk.
Secara harfiah, kata sastra dalam bahasa latin, “littera” memiliki arti yaitu
tulisan. Sastra adalah seni dan karya yang saling berkaitan dengan ekspresi dan
kegiatan penciptaan. Maka hal tersebut, karya sastra mengandung unsur
kemanusiaan seperti perasaan, semangat, kepercayaan,keyakinan sehingga dapat
membangkitkan kekaguman (Kasmawati, 2022: 253).
Menurut
Sapardi Djoko Damono, sastra ialah lembaga sosial yang menggunakan bahasa
sebagai medium penyampaiannya. Sastra menampilkan gambaran kehidupan manusia
dan kehidupan tersebut merupakan suatu kenyataan sosial. Sastra adalah ungkapan
ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan pemikiran,
pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan manusia dalam bentuk imajinatif. Imajinatif
sendiri memiliki arti cerminan kenyataan yang dibalut menggunakan kemasan
estetis melalui media bahasa.
Alasan
mengapa karya sastra memiliki bentuk imajinasi dan terdapat juga realitas yang
dikemas secara bersama yaitu karena sastra memiliki dua jenis yaitu sastra
imajinatif dan sastra non imajinatif atau sastra non-fiksi. Dalam sastra akan
mengambil sebuah data yang realistis dengan kehidupan seperti berita, sejarah
dan sebagainya. Kemudian data tersebut dikemas secara estetis mengunakan
imajinasi penulis karya sastra dengan tujuan agar lebih menimbulkan kemenarikan
bagi yang akan membaca karya sastra tersebut.
Pada
hakikatnya, karya sastra adalah refleksi dari sebuah kehidupan masyarakat.
Sebagai refleksi, karya sastra tidak sepenuhnya meniru secara benar dalam
kehidupan masyarakat, namun akan memberikan pelajaran dan kemungkinan dari
sudut pandang estetis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam
lingkungan masyarakat (Djojosuroto, 2006: 58). Karya sastra memiliki berbagai fungsi
seperti sebagai hiburan, pendidikan , memberikan keindahan, serta memberikan
banyak ajaran terkait dengan agama yang dapat ditiru atau diteladani bagi
pembaca serta penikmat karya sastra tersebut. Karya sastra menurut ragamnya
terbagi menjadi tiga, yaitu prosa, puisi, serta drama. Prosa memiliki dua jenis
yaitu terdiri dari prosa lama dan prosa baru. Bentuk prosa lama seperti
hikayat, sejarah, kisah dan dongeng. Sedangkan prosa baru meliputi cerpen,
novel, roman, riwayat, kritik, sejarah, kisah, dan dongeng. Pada puisi terdiri
dari 4 jenis yaitu meliputi puisi lama, puisi baru, puisi bebas dan kontemporer.
Ragam karya sastra yang terakhir yaitu drama.
Puisi
ialah bentuk tulisan bebas yang merupakan ekspresi dan gagasan penulisnya dalam
bentuk bait-bait dan diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan tulisan estetis
yang dapat menggugah dan memberikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca melalui
berbagai gaya bahasa (majas). Sastra berjenis puisi memiliki beranekaragam
jenis seperti puisi epik, lirik dan dramatik. Prosa adalah tulisan berupa
cerita atau kisah yang memiliki plot dalam rangkaian berbagai peristiwa yang
dihasilkan dari imajinasi, cerminan kenyataan, atau dari data dan informasi
sesungguhnya berdasarkan fakta ilmiah. Jenis karya sastra prosa terbagi menjadi
dua jenis, yaitu prosa fiksi yang brarti kisah dari kejadian atau peristiwa
nyata dan prosa non fiksi yang memiliki arti
tidak nyata.
Prosa
fiksi ialah tulisan cerita yang memiliki alur dihasilkan dari imajinasi atau
cerminan kenyataan yang dapat diambil dari data nyata seperti sejarah, hanya pelaku,
nama tempat atau alur ceritanya yang dapat dikarang. Contohnya seperti novel
karya Pramoedya Ananta Toer yang kaya akan sejarah. Sedangkan prosa nonfiksi
ialah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan dari pengarang,
tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi faktual (kenyataan) atau
berdasarkan pada pengamatan pengarangnya. Karangan tersebut diungkapkan secara
sistematik, kronologis, atau kilas balik dengan menggunakan bahasa semiformal.
Karangan dapat berbentuk eksposisi, persuasi, deskripsi, atau campuran.
Prosa
nonfiksi disebut juga sebagai karangan semi ilmiah. Karangan yang termasuk
karangan semi ilmiah meliputi artikel, tajuk rencana, opini, feature, tips,
biografi, reportase, iklan, pidato, dan sebagainya. Sedangkan pengertian drama
adalah kisah yang menggunakan dialog sebagai bahan utama untuk menyampaikan
cerita dan berbagai rangkaian peristiwa yang ada dalam suatu cerita yang
dirangkai. Dalam proses penciptaannya, sebuah drama dibuat dalam bentuk naskah
untuk kemudian dilakonkan pada pementasan seni teater atau bahkan diekranisasi
(transformasi) untuk dijadikan sebuah film. Drama dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu drama prosa dan drama puisi. Selanjutnya dapat dikategorisasikan
menjadi drama komedi, tragedi, melodrama, tragedi-komedi.
Salah
satu bentuk karya sastra yaitu cerpen. Cerpen merupakan tulisan pendek yang
memaparkan kisah atau cerita tentang kehidupan manusia beserta seluk beluknya atau
asalnya (Kosasih, 2012: 34). Cerpen adalah karya sastra berbentuk prosa fiksi
atau cerita rekaan yang dapat selesai untuk dibaca dalam waktu singkat. Cerpen
atau cerita pendek termasuk prosa fiksi yang menceritakan tentang suatu peristiwa
yang dialami oleh tokoh utama. Cerita pendek atau cerpen bentuknya lebih
sederhana daripada novel. Cerpen termasuk dalam sastra popular, karya sastra
ini terdiri dari satu inti kejadian yang dikemas dengan cerita yang sangat padat.
Di dalam cerpen menceritakan sebuah kisah seperti kehidupan tokoh yang penuh pertikaian,
memuat peristiwa dengan suasana mengharukan maupun menyenangkan. Termuat juga kesan
agar tidak mudah dilupakan oleh pembacanya. Dalam makalah ini akan membahas mengenai
analisis cerpen dengan menggunakan pendekatan objektif.
Pendekatan
Objektif tidak lepas dari soal pengarang dan pembaca. Pendekatan objektif dapat
memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya
sastra, yaitu tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, gaya bahasa dan amanat.
Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi termasuk kemungkinan sangat kuat
untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Pendekatan objektif merupakan pendekatan
yang paling penting karena dibandingkan dengan pendekatan apapun yang dilakukan
pada dasarnya akan bertumpu pada karya sastra itu sendiri (Yanti dan Gusriani,
2021: 168). Pendekatan objektif memusatkan pada perhatian semata pada
unsur-unsur yang dikenal dengan istilah analisis intrinsik. Melalui pendekatan
objektif, unsur-unsur intrinsik akan dieksploitasi dengan cara semaksimal
mungkin. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan
yang dilakukan untuk melihat eksistensi sastra itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Putu
Wijaya
Putu
Wijaya merupakan sastrawan yang terkenal serba bisa. Putu memiliki nama lengkap
yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya, yang berasal dari keturunan bangsawan.
Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Raka dan ibunya yang bernama Mekel Ermawati. Putu
lahir tanggal 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putu merupakan anak
bungsu dari lima saudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Putu tinggal
di kompleks perumahan besar, yang dapat dihuni sekitar 200 orang.
Pada
bidang pendidikan, Putu menyelesaikan sekolah rakyat hingga sekolah menengah
atas di Bali, lalu melanjutkan perguruan tingginya di Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar sarjana hukum pada tanggal 28 Juni
1969. Semasa Putu kuliah di fakultas hukum, ia juga belajar di Akademi Seni
Drama dan Film (Asdrafi) pada tahun 1964. Putu lebih tertarik dengan sejarah,
bahasa, dan ilmu bumi, hal inilah yang membuatnya tidak dapat memenuhi harapan
ayahnya yang menginginkan Putu untuk menjadi seorang dokter.
Putu
Wijaya mulai menulis sejak SMP, tulisan pertamanya berbentuk cerpen berjudul
“Etsa” yang diterbitkan di harian Suluh Indonesia, Bali. Ia mulai menggeluti
drama pertama kali pada masa SMA, Putu memainkan drama yang disutradarai oleh
Putu sendiri dalam kelompok yang didirikannya bertempat di Yogyakarta. Pada tahun
1967–1969, Putu telah bergabung dengan Bengkel Teater dan sempat mementaskan
“Bip-Bop” dan “Pozzo” dalam drama Menunggu Godot di Jakarta.
Putu
Wijaya menyutradarai pementasan berjudul Lautan Bernyanyi. Putu menjadi pindah
ke Jakarta dan bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Sempat satu kali Putu memainkan
peran dalam pementasan Teater Populer. Di samping itu, Putu Wijaya juga bekerja
sebagai redaktur majalah Ekspres, namun setelah majalah itu mati, ia bekerja
sebagai redaktur majalah Tempo. Pada saat itulah Putu Wijaya mendapat dukungan
dari beberapa temannya untuk mendirikan sebuah teater. Akhirnya, Putu Wijaya
mendirikan Teater Mandiri yang didirikan dengan menggunakan konsep “Bertolak
dari Yang Ada”. Putu juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman. Pada tahun
1973, Putu mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun.
Namun,
beasiswa tersebut dijalani hanya tujuh bulan dan kembali ke Indonesia. Setelah
Putu kembali ke Indonesia, ia disibukkan sebagai staf redaksi majalah Tempo.
Pada tahun 1974, Putu mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lokakarya
penulisan kreatif di Lowa City, Amerika Serikat. Kegiatan tersebut bernama
International Writing Program diselenggarakan oleh Universitas Negeri Lowa. Putu
mengikuti kegiatan tersebut selama kurang lebih satu tahun. Tahun 1975 Putu kembali
bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, timur Kota Paris.
Tahun
1985 Putu Wijaya dapat mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin,
Jerman. Putu Wijaya terkenal sebagai penulis yang memiliki aliran baru.
Novel-novel yang diciptakan oleh Putu Wijaya bercorak kejiwaan dan filsafat. Corak
itulah yang kemudian menjadi ciri khasnya dari tulisan Putu Wijaya.
Putu
Wijaya menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, dan sekitar seribu
cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis berbagai
skenario film dan sinetron. Lakon yang dipentaskan yaitu mementaskan naskah
Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York
City.
Cerpen
karya Putu Wijaya kerap mengisi di Harian Kompas dan Sinar Harapan. Karya-karya
Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Beberapa judul
skenario sinetron yang Putu Wijaya tulis, meliputi Keluarga Rahmat, Pas, None,
Warung Tegal, Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam.
Terdapat
juga banyak drama yang disutradarai dengan judul Dalam Cahaya Bulan (1966),
Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak
Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr
(1986), Edan (1988). Selanjutnya, Putu Wijaya menerbitkan banyak karya sastra
novel dan cerpen, beberapa judul novel yang ia terbitkan yaitu Bila Malam
Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), dan
Keok (1978). Judul cerpen yang dimuat di koran-koran seperti Es Campur (1980),
Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), dan Yel (1995).
Pada
tahun 1977, Putu sempat menerbitkan novelet yang berjudul MS, Tak Cukup, Sedih,
Ratu, dan Sah. Banyaknya karya dari Putu Wijaya dapat menghasilkan banyak
penghargaan. Sebagai penulis skenario, Putu Wijaya berhasil meraih dua kali
Piala Citra di Festival Film Indonesia pada filmnya berjudul Perawan Desa
(1980) dan Kembang Kembangan (1985). Pada tahun 1967 naskah Putu Wijaya “Lautan
Bernyanyi” mendapatkan hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional
Indonesia.
Selain
itu banyak penghargaan yang didapatkan berupa empat kali memenangi sayembara
penulisan lakon DKJ, menjadi pemenang penulisan esai DKJ, Dua kali memenangkan
penulisan novel Femina, Dua kali menjadi pemenang penulisan cerpen Femina,
masih banyak penghargaan lainnya yang diperoleh Putu Wijaya. Multitalennya menjadikan
Putu mendapatkan banyak kritik serta komentar dari para kritikus dan pengamat
sastra. Putu Wijaya merupakan sosok oyang sangat energetik dan serbabisa. Tidak
hanya sebagai wartawan dan anggota tetap
staf redaksi majalah Tempo, melainkan juga sutradara dan penulis drama.
B.
Sinopsis Cerpen
Guru Karya Putu Wijaya
Guru
merupakan cerpen bagus dan mendidik karena mengangkat tema moral yang dapat
mengajarkan tentang keteguhan hati seseorang yang tidak tergoda oleh apa pun
demi mewujudkan impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Cerpen ini
menceritakan tentang seorang anak bernama Taksu, dia hidup di kota metropolitan
yang cita-citanya bebeda dengan anak lainnya di perkotaan, yaitu berkeinginan menjadi
seorang guru.
Namun
keinginannya tidak berjalan lancar karena orang tuanya tidak menyetujui karena
orang tuanya beranggapan bahwa pekerjaan menjadi seorang guru tidak mempunyai
masa depan yang jelas, hidup pas-pasan dengan segala kekurangan. Berbulan-bulan
orang tuanya memberi waktu untuk Taksu dapat mengubah pendiriannya, dan mulai
dari memberikan hadiah laptop tercanggih hingga mobil BMW yang bernilai
milyaran tidak diharaukan untuk mengubah pemikirannya untuk menjadi guru. Berbagai
konflik ditimbulkan dalam cerpen ini, mulai dari konflik suami yang takut pada
istrinya, konflik hidup mati antara seorang ayah dan anaknya, serta konflik
batin dan banyak konflik lain yang menegangkan.
Suami
yang takut istri dan selalu disalahkan karena dianggap salah dalam mendidik
anak sehingga anak berkeinginan untuk menjadi seorang guru menjadi hal yang humoris
dalam cerpen ini. Cerpen disatu sisi seperti senjata makan tuan bagi sang Ayah
karena jauh sebelum Taksu berkeinginan menjadi guru, ketika kecil ayahnya
bernasehat untuk selalu menghormati guru dan menempel guru karena guru lah yang
akan menjadi gudang dan sumber ilmu, hal ini yang menjadi doktrin atau alasan
kuat Taksu untuk menjadi seorang guru.
Cerpen ini ada sedikit bumbu
percintaan ketika ayah Taksu memarahi Mina seorang anak guru yang pas-pasan
merupakan kekasih Taksu yang dianggap Ayahnya sebagai biang keladi anaknya
ingin mejadi guru. Taksu mengajarkan kita tentang keteguhan hati untuk
memperjuangkan hal yang baik, juga mengajarkan bahwa tidak semuanya dapat
dinilai dan dibeli dengan materi. Tidak kalah sangat penting adalah mengajarkan
tentang betapa mulianya profesi seorang
guru, bahkan dalam dialog cerpen tersebut Taksu berkata “Sebab guru tidak dapat
dibunuh. Jasadnya mungkin bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkan tetap
tertinggal abadi. Bahkan dapat bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi
kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak akan bisa mati, Pak"
ketika Taksu diancam akan dibunuh oleh Ayahnya sendiri.
Namun beberapa bagian cerpen ini
sungguh tidak menghargai bahkan menganggap profesi guru sangat rendah dan
menganggap materi di atas segalanya. Tentu cerpen ini menceritakan kehidupan
keluaraga yang kurang berkomunikasi dan kurang harmonis, orang tua selalu
berselisih paham dengan anak dan suami yang begitu lembek dengan istri yang
pada akhirnya akan berontak.
Pada akhir cerita cerpen ini, Taksu
menjadi orang yang sukses pengusaha importir barang-barang mewah dan eksportir
kerajinan tangan dan ikan ke berbagai Negara, dan menjadi guru bagi seribu
orang pegawainya dan gelar doktor honoris causa menjadi pelengkapnya, saat 10
tahun kemudian Taksu menggantikan peran ayahnya untuk memikul beban keluarga.
Sungguh akhir yang mungkin tidak dikira oleh orang tua Taksu sendiri dalam
cerpen tersebut.
C.
Analisis Unsur
Intrinsik menggunakan Pendekatan Objektif
1. Tema
Tema
ialah ide dasar cerita yang melatarbelakangi keseluruhan isi cerpen. Dalam
cerpen, biasanya sebuah tema jarang dituliskan secara tersurat oleh
pengarangnya. Tema bersifat umum, oleh karena itu banyak diambil dari
lingkungan sekitar seperti kisah pribadi seseorang, sejarah, dan lain-lain. Tema
adalah sesuatu yang menjadi persoalan
atau pokok pikiran utama. Tema yang terdapat pada cerpen berjudul Guru karya
Putu Wijaya yaitu bertemakan tentang keinginan atau tekad pada tokoh utama.
Tokoh utama berkeinginan untuk menjadi seorang guru, namun ia tidak
diperbolehkan oleh kedua orang tuanya.
2.
Tokoh
Tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa mampu
menjalin suatu cerita yang utuh. Selanjutnya, tokoh dalam sebuah karya sastra biasanya
merupakan rekaan, namun tokoh-tokoh tersebut adalah unsur penting dalam sebuah
cerita (Aminuddin, 2002: 79). Peran pentingnya terdapat pada fungsi tokoh yang memainkan
suatu peran tersebut untuk dapat dipahami oleh pembaca. Tokoh dalam cerpen
berjudul Guru karya Putu Wijaya meliputi Ayah Taksu (saya), Ibu Taksu (istri) dan
Taksu.
3.
Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang dalam
menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh dalam cerita. Penokohan tokoh
dalam cerita terbagi menjadi tiga karakter, yakni protagonis yang bersifat
baik, antagonis yang bersifat kurang baik atau jahat, dan tritagonis yang
berarti netral atau yang menjadi penengah tokoh lain. Penokohan dalam cerpen
berjudul Guru karya Putu Wijaya meliputi tokoh Ayah Taksu yang berwatak keras
dan hanya melihat sesuatu dari satu sisi. Ia terus memaksa Taksu untuk tidak
memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Dengan kerasnya, Ayah Taksu memukul
meja dihadapannya. Ayah Taksu memandang sebagai guru hanyalah profesi yang
tidak ada duitnya, tidak berharga dan hanya dari orang pedesaan yang ingin
menjadi seorang guru.
Tokoh selanjutnya adalah Ibu Taksu. Ibu
Taksu memiliki watak yang tidak konsisten dan mudah marah. Ibunya sudah
menyetujui dengan keputusan ayahnya yang akan membawakan laptop sebagai hadiah
kepada Taksu, namun ibunya menyuruh kembali pada ayahnya untuk tidak memberi
laptop agar Taksu dapat memikiran ulang terkait dengan cita-citanya. Ibunya
mudah marah terutama kepada suaminya karena mengira suaminya salah kaprah dalam
mendidik Taksu, Taksu selalu dimanjakan oleh Ayahnya. Ibunya juga marah ketika
Taksu membandel berkeinginan menjadi guru.
Tokoh Taksu memiliki watak konsisten dan kuat dengan keingininan
atau tekad yang dimiliki. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika ayahnya yang
datang menemui Taksu, ia ditanya cita-citanya menjadi apa. Taksu selalu menjawab
ingin menjadi seorang guru. Ayahnya tidak terima dengan jawaban Taksu, akhirnya
tiga bulan kemudia ditanya lagi Taksu berkeinginan menjadi apa, dan ia selalu
menjawab ingin menjadi guru.
4. Alur
Alur ialah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian hanya dihubungkan secara sebab akibat peristiwa yang satu atau
menyebabkan terjadinya pada peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 113). Alur
yang terdapat pada cerpen "Guru" karya Putu Wijaya adalah alur
campuran, dikarenakan cerpen ini menceritakan kejadian secara urut kemudian
dijelaskan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian pada masa lampau dan kembali
lagi pada saat ini. Tahap alur yang ada pada cerpen Guru karya Putu Wijaya,
yaitu:
a)
Pengenalan Situasi Cerita
Anak saya bercita-cita ingin menjadi guru. Tentu saja
saya dan istri saya jadi kaget. Kami berdua tahu, seperti apa masa depan
seorang guru. Karena itulah sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia
ngomong.
b)
Pengungkapan Peristiwa
Taksu, Ayah,
dan Ibu berbicara. Ayah dan Ibu sangat tidak setuju Taksu menjadi Guru. Tetapi Taksu
tetap ingin menjadi guru.
c)
Menuju Pada Konflik
Keinginan Taksu tetap kuat meskipun ayah dan ibunya
marah sekalipun Taksu tetap kokoh terhadap pendiriannya. Ayahnya mencoba
merayunya dengan membelikan laptop dan mobil, tetapi Taksu tetap tidak goyah.
Bahkan ayahnya berniat untuk menghentikan uang jajan dan uang kesehariannya pun
Taksu tetap memiliki tekad yang kuat untuk mejadi guru.
d)
Puncak Konflik
Karena sudah tidak tahu lagi Ayahnya kembali dengan
membelikan mobil dengan sayarat Taksu
berhenti untuk menjadi seorang guru. Taksu tetap saja pada pendiriannya.
Akhirnya kesal ayahnya pulang. Setelah bercerita kepada istrinya, ayahnya
diomeli oleh sang istri. Ayahnya kembali ke kosan Taksu dan di sana sudah tidak
ada orang. Hanya tinggal sepucuk surat yang tertulis "Maaf, tolong relakan
saya untuk menjadi seorang guru". Taksu pergi.
e)
Penyelesaian
Tetapi itu 10 tahun yang lalu
Sekarang saya sudah mulai tua.
Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya ada di luar
dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya untuk memikul beban
keluarga. Ia menjadi salah satu seorang pengusaha besar yang mengimpor
barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke
berbagai wilayah mancanegara.
5. Latar
Latar atau setting dalam cerpen yaitu tempat, waktu,
dan suasana. Latar digunakan untuk memperkuat keyakinan para pembaca terhadap
jalanya suatu cerita. Latar dalam suatu cerita bisa bersifat faktual dan imajinatif.
Latar atau
setting yang ada pada cerpen "Guru" karya Putu Wijaya, yaitu:
a) Tempat
Rumah Kos. Hal tersebut
dapat dibuktikkan dengan kalimat “Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan
kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di kosnya”.
b) Waktu
Tiga bulan kemudian dan
10 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan saat tiga bulan kemudian Ayah Taksu
menemui Taksu di Kos dengan membawakan mobil dan menagih jawaban dari Taksu
dengan harapan tidak mau menjadi seorang guru, namun Taksu masih saja untuk berkeinginan
menjadi guru. Waktu 10 tahun yang lalu kejadian tersebut dapat terjadi dan
diceritakan oleh Ayah Taksu.
c) Suasana
Menegangkan dan senang.
Suasana menegangkan dibuktikan dengan Ayah Taksu yang terus memarahinya dan
bersikap kasar karena ia bertekad akan menjadi seorang guru dan Ayahnya memberi
ancaman untuk membunuh Taksu. Dari itu semua Ibunya merasa khawatir dengan apa
yang telah dilakukan oleh Ayahnya, Ibunya khawatir jika Taksu akan pergi
meninggalkan kedua orang tuanya. Pada akhirnya kekhawatiran itu terjadi dan
kedua orang tua Taksu sibuk mencari agar dapat kembali karena Taksu adalah anak
semata wayangnya. Suasana senang dapat dibuktikan ketika Taksu sudah menjadi
anak yang sukses ia menjadi guru besar bagi 10.000 pegawainya.
6. Gaya
Bahasa
Penggunaan gaya bahasa adalah cara untuk mengungkapkan
perasaan atau pikiran dengan tujuan memberikan efek pada para pembacanya.
Selain itu, gaya bahasa digunakan dalam menciptakan suatu nada, dan suasana
persuasif, serta dialog agar dapat memperlihatkan interaksi sekaligus hubungan
antar tokoh. Gaya bahasa disebut dengan istilah majas. Terdapat beberapa majas
yaitu majas alegori, hiperbola, personifikasi, dan lain sebagainya.
Gaya bahasa pada cerpen "Guru" karya Putu
Wijaya, yaitu:
a) Asosiasi
atau Perumpamaan
Menjadi guru itu bukan cita-cita.
Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Guru itu hanya sepeda tua.
b) Hiperbola
Satu jam saya memberi Taksu kuliah.
Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi,
saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret
anak saya ke masa depan yang gelap.
7.
Sudut pandang
Sudut
pandang termasuk ciri khas atau strategi yang digunakan oleh pengarang dalam
menyampaikan cerita. Sudat pandang terdiri dari 3 orang pertama, kedua, dan
ketiga. Sering juga pengarang menggunakan sudut pandang orang yang berada di
luar cerita.
Cerpen
ini menggunakan sudut pandang orang pertama atau pelaku terlibat langsung
dengan cerita. Anak saya bercita-cita
menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam
apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat
ngajak dia ngomong.
8.
Amanat
Amanat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembacanya. Pada umumnya, amanat dalam cerpen sifatnya tersirat. Amanat
yang terkandung adalah kita harus memiliki tekad yang kuat serta kemauan keras
agar bisa menjadi orang sukses. Sebagai orang tua haruslah memberi celah kepada
anaknya untuk melanjutkan kehidupannya dan selalu memberi support jika itu
keinginan yang positif. Kita sebagai manusia juga tidak perlu memandang sebelah
mata terkait dengan profesi atau cita-cita dari seseorang.
BAB
III
PENUTUP
Dari
tulisan makalah ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif dalam sastra
dapat berisi seperti pandangan atau telaah karya sastra melalui unsur intrinsik
yang dibangun meliputi tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, gaya bahasa dan
amanat. Tema dalam cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya adalah mengenai
tentang keinginan atau tekad pada tokoh utama. Tokoh utama berkeinginan kuat untuk
menjadi seorang guru, namun ia tidak diperbolehkan oleh kedua orang tuanya.
Tokoh dalam cerpen Guru karya Putu Wijaya meliputi Ayah Taksu, Ibu Taksu dan
Taksu. Mereka bertiga saling memiliki watak yang berbeda-beda, ayah taksu
berwatak berwatak keras dan hanya melihat sesuatu dari satu sisi. Tokoh Ibu
Taksu berwatak tidak konsisten dan mudah marah, sedangkan watak Taksu adalah konsisten
dan kuat dengan keingininan atau tekad yang dimiliki.
Latar
tempat yang digunakan pada cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya adalah di Rumah
Kos. Sedangkan latar waktu yang digunakan pada cerpen berjudul Guru karya Putu
Wijaya adalah Tiga bulan kemudian dan 10 tahun yang lalu. Latar suasana yang
digunakan adalah Menegangkan dan senang. Majas dalam cerpen Guru karya Putu
Wijaya yaitu menggunakan majas asosiasi atau perumpamaan dan majas hiperbola.
Sudut pandang dalam cerpen ini adalah orang pertama atau pelaku terlibat
langsung dengan cerita.
Amanat yang terkandung dalam cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya adalah mengajarkan kita untuk selalu memiliki tekad yang kuat serta kemauan keras agar bisa menjadi orang sukses. Sebagai orang tua haruslah memberi celah kepada anaknya untuk melanjutkan kehidupannya dan selalu memberi support jika itu keinginan yang positif. Kita sebagai manusia juga tidak perlu memandang sebelah mata terkait dengan profesi atau cita-cita dari seseorang.
Daftar Pustaka
Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Jakarta: Sinar Baru.
Arum, Rifda. 2021. Pengertian Sastra: Jenis, Fungsi, dan
Periodisasi Perkembangan Sastra di Indonesia. Diakses dari https://www.gramedia.com
pada pada 25 Desember 2022.
Djojosuroto, K. 2006. Teks sastra dan pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka Book.
Kasmawati. 2022. “Kritik Sastra
dengan Pendekatan Pragmatik pada Cerpen Malaikat Juga Tahu Karya Dewi Lestari”.
Jurnal Kajian Pendidikan dan Sosial,
Vol. 3, No. 2, pp. 253-261. Diakses dari https://scholar.google.com
pada 25 Desember 2022.
Kosasih, E. 2012. Dasar-dasar keterampilan sastra.
Bandung: Yrama Widya.
Nurgiyantoro, B. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Rachim, Rachel Camila. 2022. Biografi Putu Wijaya. Diakses dari https://www.qureta.com
pada 25 Desember 2022.
Sabila, Azka Hanifa., dan Mega
Nurhayati. 2022. “Analisis Cerpen Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita Menggunakan
Pendekatan Objektif”. Jurnal Penelitian
Mahasiswa, Vol. 1, No. 4, pp. 98-104. Diakses dari https://scholar.google.com pada 25 Desember 2022.
Thabroni, Gamal. 2022. Sastra – Pengertian, Sejarah, Jenis &
Fungsi (Pendapat Ahli). Diakses dari https://serupa.id
pada 25 Desember 2022.
Wiranata, Andika. 2012. Resensi Cerpen Guru. Diakses dari http://andikawiranataa.com
pada 25 Desember 2022.
Yanti, Zherry Putria., dan Atika
Gusriani. 2021. “Analisis Novel Guru Aini Karya Andrea Hirata dengan Pendekatan
Objektif ”. Jurnal Bahasa dan Sastra
Indonesia, Vol. 10, No. 2, pp. 166-179. Diakses dari https://scholar.google.com pada 25 Desember 2022.
Komentar
Posting Komentar